Transisi Ideologi Demokrasi, Dulu, Kini dan Esok


Jika orang berbicara “demokrasi”, maka yang  muncul dalam benak kita adalah sebuah sistem politik yang menekankan suara rakyat sebagai penentu kebijakan.

Memang, secara asal katanya demokrasi atau “democracy”, berasal dari kata “demos” dan “kratos’, sebuah bahaya Yunani yang berari kekuasaan di tangan rakyat.

Harus diakui memang “konsep demokrasi” sesunguhnya berasal dari dunia pemikiran politik Yunani. Dalam karya klasik Yunani yang berjudul Polis, demokrasi mengacu pada konstitusi (sistem pemerintahan) tempat rakyat yang lebih miskin lebih bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka yang acap kali berbeda dengan kepentingan kaum kaya dan kaum bangsawan (Loytard,1996:214). Dalam impelementasinya di Yunani, demokrasi dalam pengertian sistem pengambilan suara dilakukan secara langsung.

Konsep  demokrasi  yang  berkembang  dalam  alam  pemikiran  Yuniani  itu kemudian banyak berpengaruh terhadap sistem pemerintahan di Eropa, Amerika, Afrika dan     termasuk Indonesia. Demokrasi pada saat ini telah dianggap sebagai sustu  sistem  pemerintahan  yang paling  baik  dibandingkan  dengan  sistem pemerintahan lain, seperti otokrasi, dan oligarkhi.

  1. Perumusan Masalah

            Dari penjelasan di atas, dapat kita rumuskan pertanyaan yaitu :

            Perpindahan ideologi yang terjadi seperti apa saja?  

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Demokrasi Terpimpin

Demokrasi terpimpin selalu diasosiasikan dengan kepemimpinan Sukarno yang otoriter. Hal itu berawal dari gagalnya usaha untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante dan rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959 yang  akhirnya  mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan  Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit itu dikeluarkan dalam suatu acara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi yakni Demokrasi Terpimpin.

Dekrit yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mendapatkan sambutan dari masyarakat Republik Indonesia yang pada waktu itu sangat menantikan kehidupan negara yang stabil. Namun kekuatan dekrit tersebut bukan hanya berasal dari sambutan yang hangat dari sebagian besar rakyat Indonesia, tetapi terletak dalam dukungan yang diberikan oleh unsur-unsur penting negara lainnya,  seperti  Mahkamah  Agung  dan  KSAD.  Dengan  dikeluarkannya  Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959, diganti dengan Kabinet Kerja. Dalam kabinet tersebut Presiden Soekarno bertindak sebagai perdana menteri, sedangkan Ir. Djuanda bertindak sebagai menteri pertama.

Demokrasi  Terpimpin  sebenarnya,  terlepas  dari  pelaksanaannya  yang dianggap otoriter, dapat dianggap sebagai suatu alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran  politik Indonesia  dalam pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan antara partai-partai di parlemen, suatu sistem yang lebih otoriter diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Soekarno. Dari kelompok sipil ini yang paling utama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga walau tidak begitu signifikan peranan dari golongan agama, yaitu khususnya yang diwakili oleh NU yang tergabung dalam poros nasakom soekarno semasa pemberlakuan demokrasi terpimpin. Meskipun pemimpin PKI maupun Angkatan Darat mengaku setia kepada Presiden Soekarno, mereka sendiri masing-masing terkurung dalam pertentangan yang tak terdamaikan.

Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih  pada  saat  angkatan  lain,  seperti  TNI-Angkatan  Udara,  mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan  hubungan  antara  Soekarno  dengan  pemimpin  militer  pada  akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan  yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965 (Wasino, 2007; lihat pula   Ricklefs, 2005: 508-557).

  1. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru

Orde Baru identik dengan Pemerintahan Suharto. Hal itu dapat dipahami karena selama 32 tahun Suharto memimpin pemerintahan, tidak ada presiden lain selain dirinya. Oleh karena sebagai penguasa tunggal yang tak pernah tergantikan, maka masa ini sering disebut sebagai rezim Suharto.

Setelah Suharto berhasil memperoleh legitimasi berupa Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), maka ruang gerak tentara dalam bidang pertahanan keamanan dan kancah politik nasional semakin kuat. PKI dijadikan kambing hitam satu-satunya sebagai dalang Kudeta G-30 Sepetember, meskipun dalam banyak penyelidikan banyak aktor yang ikut bermain di dalamnya. Komandan-komandan  tentara  di  daerah  melarang  kegiatan  PKI  dan menangkap para pemimpinnya sampai ke tingkat desa. Pada bulan Desember 1966 sesungguhnya PKI telah dihancurkan sebagai kekuatan politik di Indonesia. 

Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik. Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera, sampai dengan terkonsolidasikannya “kekuatan  Orde  Baru”.  Sebagai  upaya  lanjut  mengatasi “peruncingan ideologi” Soeharto melakukan inisiatif penggabungan partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan.

Praktik demokrasi   diktatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu berlangsungya aksi-aksi protes di kalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur (Hill (ed), 1994; Wikipédia).

  1. Demokrasi Pasca Orde Baru

Berakhirnya  Orde  Baru  melahirkan  kembali  fragmentasi  ideologi  dalam masyarakat. Berbagai kelompok dengan latar belakang ideologi yang beranekaragam, mulai  dari  muslim  radikal,  sosialis,  nasionalis,  muncul  dan  bersaing  untuk mendapatkan pengaruh politik. Sebelum pemilu multi partai 1999 diselenggarakan, berlangsung pertikaian di kalangan pro demokrasi soal bagaimana transisi demokrasi harus  berjalan  dan  soal  memposisikan  elite-elite  lama  dalam  proses  transisi.

Beberapa  kemajuan  penting  dalam  arsitektur  demokrasi  yang  dilakukan pemerintahan Habibie antara lain; adanya kebebasan pers, pembebasan para tahanan politik (tapol), kebebasan bagi pendirian partai-partai politik, kebijakan desentralisasi (otonomi daerah), amandemen konstitusi antara lain berupa pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode, dan  netralitas  birokrasi  dan  militer  dari  politik  praktis.

Pemerintahan  baru  hasil  pemilu 1999  yang  memunculkan  pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati jauh dari performance yang optimal. Wahid pada akhirnya dipaksa lengser setelah kurang dari dua tahun berkuasa. Pada tahun 2004 diselenggarakan Pemilu kedua sebagai produk reformasi. Dalam pemilu itu dipilih anggota DPR/DPRD. Selain itu juga dilakukan pemilihan Presiden Secara langsung. Ketika itu berhasil dipilih presiden dan wakil presiden secara langsung dengan terpilihnya Susilo Bambang Yudoyono sebagai presiden dan Yusuf  Kala sebagai wakil presiden.

            Pada tahun 2009 ini akan dilaksanakan Pemilihan Umum lagi. Pemilihan pertama akan dilakukan tanggal 9 April 2009 untuk memilih DPR/DPRD dan DPD. Setelah itu baru dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Siapapun yang terpilih oleh rakyat itulah yang berhak atas kekuasaan di negeri ini, sebab hakekat demokrasi adalah menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan mutlak. 

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, sejak Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia telah melakukan ujicoba demokrasi. Ujicoba demokrasi dapat terjadi karena banyak faktor, salah satu faktor terpenting adalah pemahaman para elite tentang konsepsi demokrasi. Ada yang beranggapan bahwa  demokrasi  harus  dijalankan menurut  model  parlementer,  ada  yang berpandangan menurut model presidensiil. Kedua konsepsi itu saling tarik-menarik yang hingga kini masih mencari bentuknya.

Pemahaman demokrasi dan praktek demokrasi juga diwarnai tarik-menarik antara budaya kepemimpinan lokal dengan budaya kepemimpinan trans nasional. Budaya-budaya lokal yang telah memiliki akar kepemimpinan dan tata pemerintahan turut menentukan cara pandang pemimpin untuk aplikasi demokrasi. Demikian pula pengetahuan-pengetahuan  demokrasi  antar  negara  yang  dimiliki  oleh  sejumlah pemimpin  juga  turut  menentukan  implementasi  demokrasi  di  Indonesia. 

Sesungguhnya para elite harus kembali ke konsep awal. Apa pun pilihannya, yang terpenting harus menempatkan suara rakyat, kepentingan rakyat di atas segala-galanya. Sehingga dalam mengelola negara perhatian terhadap rakyat menjadi yang utama.

Jika sudah terpilih wakil rakyat dan presiden problem yang jauh lebih penting apakah mereka mampu mengemban amanat rakyat. Janji-janji kampanye apakah dapat direalisasikan. Jika tidak, maka di masa selanjutnya rakyat dapat mengalihkan suaranya kepada yang lain.

DAFTRA PUSTAKA

  1. Husken, Frans, 1988, Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman, Jakarta: Grasindo.
  2. Loytard, 1996, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  3. Ricklefs, 2005, Sejarah Indonesia Modern, Jakarta: Serambi.
  4. Wasino, 2008, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Yogyakarta: LkiS. 

Belum ada Komentar untuk "Transisi Ideologi Demokrasi, Dulu, Kini dan Esok"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel