Tradisi Cowongan Di Kabupaten Banyumas (Teori Tradisional vs Teori Kritis)

 

Dalam kehidupan bermasyarakat banyak terdapat tradisi yang berkembang turun menurun dan sampai saat ini  pun masih berkembang di dalam masyarakat. Banyak tradisi yang berkembang di kabupaten Banyumas tepatnya di kacamatan Rawalo salah satu tradisi yang masih dilestarikan keberadaannya yaitu tradisi cowongan, Cowongan adalah salah satu jenis ritual atau upacara minta hujan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Banyumas dan sekitamya.

Dilihat dari asal katanya, cowongan berasal dari kata “cowong” ditambah akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa Banyumasan dapat disejajarkan dengn kataperong, cemong, atau therok yang diartikan berlepotan dibagian wajah.

Cowongan dilaksanakan pada saat terjadi kemarau panjang akhir Mangsa Kapat (itungan kalender jawa) diadakan pada setiap malam jumat, dimulai pada malam jumat kliwon, dilakukan dalam hitungan ganjil misalnya satu kali, tiga kali, lima kali atau tujuh kali. Tradisi tersebut dilaksanakan karena sebagian besar mata pencahariannya adalah petani tradisional.

Tradisi yang berkembang di dalam masyarakat Rawalo secara logika tidak dapat diterima oleh akal sehat meskipun semua hal tersebut sudah berkembang turun menurun dan masih dilestarikan sampai saat ini.

Apalagi di Indonesia diketahui terdapat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang bertugas untuk menyampaikan informasi perubahan iklim dan bencana alam secara update. Dan dapat diperoleh melalui media telekomunikasi maupun elektronik.

Berdasarkan tradisi cowongan tersebut bila dilihat dari sisi tradisionalnya dapat dilihat bahwa masyarakat yang menjalankan tradisi cowongan masih mempercayai kepada roh dan makhluk halus (Animisme) dan percaya terhadap benda-benda yang dapat mendatangkan kekuatan magis (Dinamisme). Paham animisme dan dinamisme masih tetap melekat di dalam masyarakat meskipun jaman sudah berkembang secara rasionalitas.

A.   Rumusan masalah

Bagaimana teori tradisional dan teori kritis melihat tradisi cowongan di Kabupaten Banyumas ?

B.   Pembahasan

1.    Teori Tradisional

Teori dalam pengertian tradisional yakni suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan prediksi terhadap suatu fenomena social. Teori tradisional bersifat ahistoris yakni memutlakan ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya unsure yang bsa menyelamatkan masyarakat.

Teori tradisional terkait dengan positivisme, salah satu tahapan dari buah karya pemikiran August Comte. Comte memaparkan atas hukum tiga tahap didalam masyarakat yaitu :

a.    Teologis

Pada tahapan ini studi kasusnya pada masyarakat primitif  yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian (animisme).

b.    Metafisik

Pada tahapan ini merupakan modifikasi dari tahapan sebelumnya Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam. Dicirikan oleh kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki kekuatan abstrak.

c.    Positivistic

Dicirikan oleh kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan.

2.    Teori Kritis

Teori yang memberikan seseorang untuk memiliki kebebasan berfikir dalam melihat dan mengungkap fenomena-fenomena sosial yang terjadi didalam tatanan masyarakat.

Dalam pembahasan ini teori yang digunakan, yaitu menggunakan teori kritis mahzab Frankfurt, dari teori tersebut mengkritisi permasalahan yang telah dipaparkan oleh Comte. Karena pada teori tradisional, terpaku pada ilmu pengetahuan dan hanya membahas tentang bagaimana sedangkan kritis itu system bekerjanya dengan pertanyaan mengapa. Ilmu pengetahun pada cakupan kritik mahzab Frankfurt telah membutakan para ilmuwan, mereka menjunjung tinggi ketegori bebas nilai dan dari adanya kategori tersebut membuat ilmu pengetahuan itu tidak ada yang salah, padahal bila dikaji ulang banyak sekali keresahan-keresahan di masyarakat yang belum dijawab oleh teori positivis Comte.    

3.    Tradisi Cowongan menurut Teori Tradisional vs Teori Kritis

Penulis mengambil tema Teori Tradisional vs Teori Kritis dan mengangkat contoh kasus “Tradisi Cowongan di Kabupaten Banyumas”. Di Indonesia sendiri memang tradisi-tradisi yang berbau tradisional masih sangat melekat kental di kalangan masyarakat indonesia meskipun perkembangan jaman sudah memasuki era yang modern.

Masyarakat di Banyumas beranggapan bahwa tradisi Cowongan dapat mendatangkan hujan agar dapat mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan para petani tradisional di Kecamatan Rawalo, dengan melakukan ritual-ritual yang sudah di tentukan oleh dukun yang bertindak sebagai pemimpin upacara tradisi tersebut.

Dalam tradisi cowongan terdapat beberapa aspek penting yakni sebagai berikut :

a.    Tradisi cowongan sebagai bentuk permainan rakyat jawa. Permainan cowongan merupakan permainan nyanyian yang menggunakan property irus yang didandani sebagai nini cowong yang dalam hal ini dapat dikatagorikan permainan gaib atau ritual magis cowongan.

b.    Cowongan dianggap sebagai ritual , ritual untuk meminta hujan. Dapat dilihat dari pelaksanaanya pada malam jumat kliwon, tempat yang digunakan khusus yaitu teras, pelakunya semua wanita yang dalam keadaan suci, ada perlengkapan sesaji.

c.    Cowongan sebagai bentuk untuk mendatangkan kekuata magis tercermin dalam syair-syair lagu yang dinyanyikan oleh pelaku cowongan merupakan doa (mantra) dan ada dukun untuk memimpin jalannya acara.

d.    Cowongan merupakan tradisi turun menurun yang tidak dapat digantikan oleh apapun dan harus ditaati.

e.    Cowongan bersifat estetis.

Ditinjau  dari teori tradisional penulis memakai pemikiran august comte pengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme terhadap masyarakat Rawalo masih sangat kental, dibuktikan dengan tindakan-tindakan dalam ritual cowongan yang sangat memperhatikan aspek ritual magis yang tercermin pada kegiatan masyarakat dalam mengatasi masalah kekeringan dengan mengadakan ritual pertunjukan cowongan. Serta penekanan aspek estetik yakni masyarakat yang mampu berkarya seni tanpa mengurangi keindahan alami ritual cowongan tersebut.

Namun apabila ditinjau dari teori kritis tradisi cowongan dianggap kegiatan yang tidak masuk akal karena masyarakat saat ini berada pada situasi masyarakat yang rasional. Adanya BMKG yang bertugas untuk mengidentifikasi dan menginformasikan perubahan iklim dan cuaca yang terjadi di wilayah Indonesia.

Pemerintah juga seharusnya mempunyai solusi-solusi untuk menciptakan alternative lain agar sawah para petani bisa terairi dan tidak kekeringan misalkan dengan mensosialisasikan irigasi sawah. Sehingga petani tradisional tidak menggunakan cara-cara tradisional yang diluar rasional manusia. Teori kritis ini seakan memberikan kritikan terhadap teori positivis yang telah dipaparkan oleh Comte.

C.    Kesimpulan

Pada kasus tradisi Cowongan ini, terdapat dua teori yang dibahas terutama teori tradisional (Comte) dan teori kritis mahzab Frankfurt. Berdasarkan pada kedua hal tersebut tradisi cowongan ini merupakan suatu kepercayaan yang telah dibangun oleh masyarakat Banyumas, Rawalo, di mana pada kasus ini terlihat bahwa di tengah berada pada tahap positivis masyarakat berada juga pada pada tahapan teologis dan metafisik. Inilah bukti dari kelemahan ilmu pengetahuan yang telah dipaparkan sebelumnya oleh Comte. Sedangkan bila di lihat dari teori kritis pada kasus tersebut masyarakat setidaknya mengikuti perkembangan prakiraan cuaca dan iklim yag telah diinformasikan oleh BMKG. Dan perhatian pemerintah un tuk menangani solusi kekeringan berkepanjangan di kecamatan Rawalo sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap petani tradisional.

D.   Daftar pustaka

 

Fadjar,P. 1991. Kamus Dialeg Banyumas Indonesia, Purwokerto: BKB. Yayasan Damar Agung

Jay, Martin. 2005. Sejarah Mazhab Frankfurt, Imajenasi Dialektis Dalam Perkembangan Teori Kritis. Cetakan Pertama. Jogja: Kreasi Wacana.

 

Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.

 

 Ritzer, George. 2009. Teori Sosiologi. Cet. Ketiga. Yogyakarta: Kreasi Wacana.



Belum ada Komentar untuk "Tradisi Cowongan Di Kabupaten Banyumas (Teori Tradisional vs Teori Kritis)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel