Teori Kritik Sosial Imajinasi Sosiologis
A. Pengantar
C.Wright
Mills merupakan tokoh yang mengumandangkan teori imajinasi sosiologis. Dengan
imajinasi sosiologis seseorang dapat memahami pandangan historis yang lebih
luas, dari segi pengertiannya terhadap hakekat kehidupan (innear life) dan kebutuhan kehidupan (external career) berbagi individu. Dengan menggunakan itu dia dapat
melihat bagaimana individu-individu berada dalam keruwetan pengalaman
sehari-harinya sering mengisruhkan posisi sosial mereka. (Mills, 1959). Himbauan Mills tentang imajinasi sosilogis
merupakan salah satu bentuk kecaman atau kritis terhadap ilmu yang semu.
(Mills, 1954) menganggap para sosiolog naturalis ekstrim sebagai kaum ilmiawan
atau scientists. Mereka yang dianggap Mills sebagai kaum scientists tidak akan
pernah mengetahui inti masalah masyarakat dan sejarahnya sebagaimana ketika
para ahli fisika dalam memandang segala proses yang terjadi di alam. Dalam
bukunya yang terkenal The Sociological
Imagination (1959) inti utama dari imajinasi sosiologis yaitu, (1) Sejarah:
bagaimana masyarakat yang akan datang dan bagaimana perubahan itu terjadi dan
bagaimana proses sejarah sedang berlangsung di dalamnya, (2) Biografi:
sifat-sifat manusia yang hidup di masyarakat serta apa saja yang mendiami
orang-orang tertentu masyarakat, (3) Struktur sosial: bagaimana berbagai
institusi atau lembaga beroperasi dalam sebuah masyarakat, yang mana posisinya
dominan, bagaimana mereka diselenggarakan bersama, bagaimana mungkin mereka
akan melakukan suatu perubahan.
Imajinasi
sosiologis merupakan pemikiran yang memungkinkan kita untuk mengetahui sejarah
dan biografi serta hubungan antara keduanya di dalam masyarakat. Masyarakat
dalam melalui kehidupannya pasti
memiliki pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya dan lingkungannya (masyarakat) yang
kemudian bisa dibangkitkan oleh pemikiran yang memiliki imajinasi sosiologis.
Artinya imajinasi adalah kemampuan untuk berubah dari satu perspektif lain,
seperti dari politik ke psikologis. Dalam melihat permasalahan masyarakat, Mills
mengajak kita untuk menggunakan imajinasi sosiologisnya karena dengan itu akan
dapat mengetahui serta mempelajari
tingkah laku manusia dimasa lalu untuk kemudian mengkonstruksikan segala
tingkah laku masyarakat masa lampau kepada masyarakat masa saat ini. Belajar
dari proses pengalaman masa lalu individu dapat melakukan perubahan pola-pola
struktur kehidupannya pada masa sekarang. Mills (1950) menyatakan Imajinasi
sosiologis merupakan gabungan dari dua cara penelitian yang
diidentifikasikannya sebagai makroscopiks dan molekular. Makroscopiks,
behubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam cara perbandingan; beruang
lingkup sama dengan ruang lingkup ahli sejarah dunia, mencoba menampilkan
tipe-tipe fenomena historis, dan secara sistematis menghubungkan berbagai
lingkungan institusional masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan tipe-tipe
manusia yang ada. Sedangkan molekular, ditandai dengan masalah-masalah berskala kecil
dengan kebiasaan menggunakan model verifikasi statistik. Perbedaan cara
penelitian antara makrocopiks dan molekular dapat diselesaikan lewat “strategi
pimpong” di antara kedua tingkat tersebut sehingga memungkinkan seseorang lebih
mudah berkarya ditingkat makrocopiks dan molekular secara bersamaan dan data
yang dihasilkan bisa tepat.
Pembahasan tentang imajinasi
sosiologis dibedakan menjadi dua ruang lingkup, yaitu yaitu: Pertama, dalam
lingkungan permasalahan diri pribadi seseorang (personal trouble) dan Kedua, dalam struktur sosial masyarakat (public issue). Pembedaan diantara
keduanya sangat penting, karena dalam melakukan pemahaman dan upaya penanganan
permasalahan-permasalahan mendasar dalam ilmu sosial, terlebih dahulu harus
dilakukan pemilahan-pemilahan diantara kedua permasalahan tersebut. Psikologi
individu merupakan bagian dari tipe-tipe tingkah laku dalam masyarakat. Manusia
adalah keseluruhan biologis yang dilengkapi dengan psikis dari berbagai
perasaan, sensasi dan impuls yang berada di dalam organisme. Dengan menggunakan
fungsi psikis dan bilogisnya manusia menjalankan peranan-peranannya dalam
masyarakat. Gerth dan Mills (1953)
menekankan batasan yang dapat diberikan pada sejarah manusia:
“Manusia adalah jenis mahluk yang unik, dalam arti dia juga merupakan
perkembangan historis. Sehubungan dengan perkembangan inilah dia harus
ditemukan dan di sini tidak ada satu rumusan tunggal yang cocok bagi mereka.
Anotomi serta psikis tidak menentukan peruntungannya. Dia menciptakan nasibnya
sendiri disaat menanggapi situasi yang dialaminya dan situasi serta pengalaman
itu merupakan hasil sejarah yang rumit dimana dia berperan. Inilah sebabnya
mengapa dia tidak menciptakan nasibnya sendiri sebagai individu tetapi sebagai
anggota suatu masyarakat. Hanya dalam batas-batas tempatnya dalam masa sejarah,
manusia sebagai individu dapat membentuk dirinya tetapi kita belum tahu lagi,
kita tidak akan pernah tahu, batas-batas dimana manusia secara kolektif dapat
memperbaiki kembali diri mereka sendiri”
Saling kaitannya antara psikologi
sosial dengan sejarah atau historis sosial tetap merupakan cara pendekatan yang
dikembangkan Mills dalam melihat permasalahan sosial dan kehidupan manusia saat
ini. Pemikiran Imajinasi sosiologis merupakan sebuah imajinasi seseorang yang
lebih tertarik akan peristiwa masa lampau. Ketertarikan ini tidak hanya untuk
mereka-reka saja atau sekedar menduga tanpa dasar yang kuat dan jelas,
melainkan dengan data-data historis dan biografi kemudian ditujukan untuk bisa merekonsrtuksikan
kembali kehidupan masyarakat masa lampau kepada masyarakat sekarang ini. Dengan
adanya gambaran tentang persitiwa masa lampau tersebut kita bisa mengambil
pelajaran untuk menjalani masa yang akan datang yang lebih baik. Belajar dari historis masyarakat pada masa
lampau baik itu tingkah laku dan struktur sosial, kehidupan masa sekarang dapat
berjalan lebih baik karena diberdayakannya imajinasi sosiologis masyarakat.
Individu terkadang tidak memiliki kemampuan
untuk memahami secara jelas keterkaitan antara dirinya sebagai pribadi dan
sebagai masyarakat. Dengan kata lain, mereka tidak ditakdirkan dapat menangani
sendiri persoalan pribadinya, dan lebih jauh ini mengandung arti bahwa tentu ia
tidak akan dapat pula mengetahui perubahan-perubahan sosial struktural yang
biasanya mengikuti di belakang permasalahan sosial yang ada disekitarnya. Pada
era globalisasi ini yang dibutuhkan masyarakat ternyata bukan sekedar informasi
permasalahan-permasalahan sosial, tetapi lebih jauh dari itu mereka sampai
kepada suatu pertanyaan: seberapa jauh kita dapat mengolah informasi
permasalahan-permasalahan sosial tersebut sehingga didapatkan solusi-solusi
yang nyata atau kongkret dalam penanganannya, bukan pula hanya sekedar memiliki
keahlian dalam melakukan penalaran terhadap permasalahan-permasalahan sosial
yang dibutuhkan (walaupun upaya menuju arah ini sering sangat menghabiskan
tenaga dan daya), sehingga akhirnya hanya tinggal sebagai sebuah menara gading
belaka tanpa memberika arti dan manfaat. Namun, kebutuhan yang sebenarnya dalam
konteks ini adalah terciptanya suatu pemikiran yang akan mendorong seseorang
khususnya pemerhati sosial dan para akademisi dalam mengolah, mengembangkan
atau memanfaatkan informasi permasalahan sosial dan atau sumbangan pemikiran
dalam rangka mencapai kesimpulan akhir tentang permasalahan-persoalan apa yang
terjadi di sekitar mereka, baik itu dilingkup lokal, regional atau bahkan lebih
jauh lagi permasalahan sosial dunia.
Imajinasi sosiologi memungkinkan
seseorang untuk melakukan pemahaman terhadap puncak es permasalahan sosial yang
berkaita dengan suatu pengalaman batin atau fisik setiap individu. Manfaat
secara kongkret adalah, pertama mencairnya secara perlahan kebekuan pemahaman
terhadap pengalamannya sendiri, sehingga seseorang dapat memprediksikan
langkah, waktu dan ruang yang tepat dalam melakukan penyelesaian
permasalahannya. Kedua, imajinasi sosiologis memungkinkan kita memahami pula
sejarah seseorang atau suatu kelompok masyarakat serta hubungan diantara
keduanya.
B. Perumusan Masalah
Rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut “Bagaimanakah imajinasi sosiologis dalam
melihat kehidupan masyarakat masa lampau dan masa sekarang”
C. Pembahasan
Mills
memusatkan perhatian pemikirannya terhadap masalah pengambilan keputusan dan
struktur kekuasaan. Ia tidak tertarik pada bentuk kekuasaan yang memaksa (coercive power) yang merupakan bentuk
akhir dari kekuasaan. Mills (1963) menyatakan
bahwa manusia bebas membuat sejarahnya, tetapi beberapa dari mereka ternyata
jauh lebih bebas dibanding yang lain karena kebebasan yang demikian memerlukan
jalur masuk agar sampai pada sarana keputusan dan kekuasaan dengan apa sejarah
itu dapat dibuat. Mills banyak membahas masalah politik dan kekuasaan, melalui
studi mengenai White Collar Workers.
Perkembangan masyarakat yang terjadi di Amerika menimbulkan kelas menengah baru
yang terdiri dari para manajer, buruh, salesman dan pekerja kantoran. Mills
menyebutkan istilah White collar workers
sebagai karyawan berkerah putih. White
collar workers digambarkan sebagai individu yang menyedihkan karena
kehilangan kekuatan pribadinya. Individu mengalami keterasingan terhadap
pekerjaannya maupun terhadap dirinya sendiri.
Pengembangan kritisasi tentang white collar workers didasarkan pada
teori alienasi Marx. Marx menjelaskan bahwa kerja telah memisahkan manusia dari
dunia binatang. Manusia mengungkapkan dirinya hanya lewat perkerjaan. Seperti
seorang petani bekerja dan melihat hasil panennya, seorang montir puas ketika
berhasil membenahi motor yang rusak dan seorang nelayan melaut dan melihat
hasil tangkapan ikannya. Teori keterasingan (alienasi) Marx menjadi dasar
pembahasan Mills tentang kelas menengah Amerika. Alienasi merupakan contoh
kontradiksi yang menjadi fokus pendekatan dialektis Marx. Terdapat kontradiksi
nyata antara sifat dasar kita yang dibatasi dan ditransformasikan oleh kerja
dengan kondisi-kondisi yang aktual dari kerja di bawah kapitalisme (Marx,
1964). Mills (1951) menggunakan sejarah untuk kemudian menjelaskan kembali
dunia pengusaha kecil di zaman dulu. Mills menyebut pengusaha kecil sebagai
orang yang bebas bukan orang yang terikat, orang yang merdeka bukan orang yang
dibatasi oleh tradisi dalam struktur dimana kebebasan individual terlihat
sebagai aturan sosial. Perkembangan
zaman yang diikuti perubahan kehidupan masyarakat membawa konsekuensi
tersendiri terhadap posisi pengusaha kecil. Perubahan dalam kelas berkerah
putih seperti, (1) hilangnya prestise dibandingkan
dengan pengusaha tipe lama, (2) merosotnya pendapatan riel, (3) mekanisasi
jabatan yang mengancam eksistensi lapangan kerja yang dipegang oleh karyawan
yang berkerah putih dan (4) pembatasan otonomi pekerja kantor (Mills, 1952).
Pekerjaan karyawan berkerah putih itu bersifat rutin dan cenderung bersifat membosankan,
hanya ada sedikit harapan untuk membangkitkan motivasi dan kinerja kerja
karyawan di masa yang akan datang. Karyawan kelas menengah bahkan yang sudah mencapai
tahap profesionalpun biasanya tidak memiliki kekuatan pribadi untuk dapat
mengendalikan hidupnya sendiri dan kekuatan politik untuk memajukan bangsa.
Mills juga membahas masalah
kekuasaan elite. Kekuasaan sebagai kemampuan yang bisa membuat kehendak atau
keinginan seseorang harus diikuti walaupun memperoleh sikap perlawanan. Elite
kekuasaan (Power elite) adalah mereka
yang memiliki posisi yang sangat penting untuk mengambil keputusan yang
bersifat besar. Elite kekuasaan berbeda jauh dengan kelas menengah baik itu
posisi atau peran yang dijalankan diantara keduanya. Mills menyatakan bahwa
dalam struktur sosial Amerika, keputusan-keputusan penting berada pada pemimpin
bisnis raksasa, pemimpin politik dan pemimpin militer. Dunia ekonomi, politik
dan militer memiliki kekuatan sejarah yang penting. Mills (1959) menyatakan
bahwa elite kekuasaan sebagai suatu kelas sosial dari orang-orang yang memiliki
asal-usul dan pendidikan yang sama, yang memiliki dasar-dasar sosial dan
psikologis yang menyatukan mereka atas kenyataan bahwa mereka adalah tipe
sosial yang serupa dan menjurus pada fakta kemudahan saling berbaur. Pemikiran
dan pandangan Mills tentang elite kekuasaan tidak bisa diterapkan pada semua
tahapan sejarah manusia, akan tetapi Mills yakin pada abad ke-20 pemikirannya
tentang elite kekuasaan sangat tepat untuk diterapkan karena terjadi
perkembangan elite kekuasaan yang terpusat. Setiap negara pasti memiliki elite
kekuasaan walaupun kemudian berusaha untuk disamarkan dengan konsep kekuasaan
yang pluralistis. Artinya, kehidupan suatu masyarakat dimana didalamnya
terdapat berbagai asosiasi hidup secara sukarela dan masyarakatlah yang
memegang kunci kekuasaan. Keputusan tertinggi selalu diambil oleh elite
kekuasaan. Keputusan perang atau damai atau masalah kemiskinan dan
kesejahteraan akan dipegang dan dikendalikan oleh para elite kekuasaan.
Kekuasaan elite politik akan menjadi
hemegoni yang mendongeng masyarakat. Kehidupan masyarakat baik dimasa lampau
ataupun dimasa yang akan datang akan selalu dipegang oleh elite kekuasaan.
Masyarakat tidak akan mampu mengubah bentuk kehidupannya selama elite
mengontrol penuh atas kehidupan mereka. Fokus atau kosentrasi politik ditingkat
tertinggi pemerintahan hanyalah salah satu dimensi dari elite kekuasaan. Pada
kehidupan masa sekarang dimana ekonomi, politik dan militer memiliki kekuasaan
atau pengaruh yang besar, sangat tidak mungkin memisahkan masalah bisnis
raksasa dengan pemerintahan yang kuat serta pengaruh militer terhadap jalannya
pemerintahan.
Pandangan
Mills menempatkan dua sisi yang saling berhadapan antara orang sebagai produk
sosial dan orang sebagai pencipta struktur sosial. Seseorang dapat memberikan
tanggapan yang tidak rasional terhadap berbagai simbol status dan slogan
politik sehingga memungkinkan terjadinya perubahan sejarah sosial mereka.
Seperti, dalam sistem pelaksanaan yang berjalan dari cita-cita demokratis
dianggap kurang efisien bila dibanding dengan masa lalu maka rakyat dapat
menentang segala kepentingan-kepentingan yang menjuru kepada elite kekuasaan.
Konfrontasi politik yang terjadi pada mereka yang memegang kekuasaan akan sulit
memperbaiki keadaan. Situasi sosio-historis adalah situasi yang objektif, mampu
menentukan kehidupan orang tetapi situasi itu dapat diubah oleh tindakan yang
rasional. Mills memiliki pandangan bahwa bila sosiologi ingin mencapai
potensinya maka sosiologi tidak hanya menemukan fakta dan pemikiran-pemikiran
besar yang abstrak. Dalam mengungkap
individu dan masyarakat, penggunaan imajinasi sosiologis akan sangat berarti.
Sosiologi ilmu pengetahuan (sociology of
knowledge) dalam beberapa hal adalah bagian dari pengetahuan setiap orang
sehingga dapat dilaksanakan tindakan sosial.
D. Kesimpulan
Pemikiran
Mills akan imajinasi sosiologis merupakan kritik terhadap model naturalis yang
sudah dominan dalam sosiologi kontemporer. Imanjinasi sosilogis adalah
kemampuan untuk menangkap sejarah dan biografi serta manfaatnya dalam
masyarakat. Teori tidak boleh abstrak dan tidak pula empirisme abstrak. Dalam
bukunya Power Elite dan White Collar, Mills
menunjukkan keprihatinannya akan isu-isu sosial. Penjelasan akan kedua
permasalahan yang ada dalam kedua buku tersebut dilakukan berdasarkan
sumber-sumber biografis dan catatan sejarah. Dengan demikian karya Mills tak
hanya relevan tetapi mencoba menggabungkan data dan teori di dalam studi
isu-isu sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Erwan, Mirza.”
Teori Interaksionisme Simbolik Dengan Teori Imaginations Sosiologis.” www.duniaesai.com, diakses pada sabtu,
12 desember 2009
Poloma, Margaret, 1984. Teori Sosiologi Kontemporer. Rajawali
Pers. Jakarta
Ritzer, George & Douglas J. Goodman diterjemahkan
oleh Nurhadi. 2004. Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta
Zuryawan
Isvandiar Zoebir.”Teori Sosiologi”.
www.wordpress.com, diakses pada sabtu, 12 desember 2009
Belum ada Komentar untuk "Teori Kritik Sosial Imajinasi Sosiologis"
Posting Komentar