Rasionalitas Komunikatif Menururt Jurgen Habermas

Realitas aktual dewasa ini ditandai dengan meningkatnya mobilitas sosial, kesadaran kultural  yang  lebih  luas,  dan  globalisasi  ekonomi.  Ketiga  gejala tersebut telah menjadikan asumsi-asumsi tradisional tentang masyarakat menjadi terisolasi,  atau  dengan  kata  lain  konsep  masyarakat  homogen  dalam  pemikiran politik menjadi lebih dicurigai. Masyarakat kemudian lebih digambarkan sebagai multikultural   (Christman,   2002:   2).   Pengandaian-pengandaian   sebagaimana muncul  dalam  ‘politik  demarkasi’  yang  mengandaikan  adanya  kotak-kotak komunitas   homogen   yang   membingkai   individu-individu,   menjadi   sebuah pengandaian  yang  secara  kognitif  dan  normatif  mengingkari  realitas.  Pluralitas menjadi bagian dari karakter sosial yang meski diterima dan dijadikan bagian dari bangunan analisis dan konstruksi sosial. 

Pada  sisi  lain,  meningkatnya  komunikasi  internasional  telah  membuat interaksi  antar  budaya  dan  tradisi  menjadi  sedemikian  lebih  kuat,  walau  masih dihantui   oleh   keraguan   tentang   status   ontis   dari   kesamaan   identitas   dan kepentingan.  Sudah  menjadi  kebutuhan  dari  umat  manusia  dewasa  ini,  bahwa penteorian tentang ‘hak-hak asasi manusia’ tanpa penelitian ke dalam jenis-jenis manusia   yang   berbeda   sebagaimana dikonseptualisasikan   sekarang   akan merupakan hal yang sangat kontroversial (Christman, 2002: 2).

  1. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat diambil yaitu :

Penjelasan apa yang dapat dikemukakan dari permasalahan di atas?

BAB II

PEMBAHASAN 

  1. Miskonsepsi Rasionalitas

Jürgen Habermas hadir sebagai seorang filsuf Jerman yang mau menyegarkan kembali kebuntuan epistemologis Teori Kritis Mazhab Frankfurt generasi pertama. Kebuntuan epistemologis Mazhab Frankfurt tersebut terletak pada ketidakmampuan mereka merumuskan sebuah solusi dari analisis “dialektika negatif” yang mereka refleksikan sendiri.

            “Dialektika negatif” tersebut, jika mau dirumuskan secara singkat, sebenarnya mau menekankan pesimisme masyarakat terhadap rasionalitas yang sebelumnya dianggap mampu menyelamatkan manusia dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi kini telah menjadi sumber dari malapetaka didalam peradaban manusia itu sendiri. Berbagai bentuk teknologi hasil temuan dari “rasionalitas” kini justru seakan-akan memakan tuannya sendiri, seperti bom atom, yang notabene adalah hasil penemuan brilian dari pengembangan dari teori Einstein, kini menjadi mesin penghancur manusia yang paling efektif.

            Habermas melihat bahwa kebuntuan yang dialami Teori Kritis Frankfurt generasi pertama, yang dipelopori oleh Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, tersebut sebenarnya berpijak pada kesalahan epistemologis didalam mengartikan rasionalitas. Bagi para pendahulunya tersebut, rasionalitas lebih dipandang sebagai rasionalitas instrumental, yakni bentuk rasionalitas yang mengutamakan kontrol, dominasi atas alam ataupun manusia untuk menghasilkan efektifitas dan efisiensi, dan prioritas pada hasil yang paling maksimal.

  1. Terobosan Habermas: Rasionalitas Komunikatif

            Habermas melihat miskonsepsi atas rasionalitas tersebut, dan kemudian merumuskan potensi emansipatoris dari rasionalitas yang tidaklah instrumental, yakni rasionalitas komunikatif. Rasionalitas komunikatif ini sudah tertanam didalam akal budi manusia itu sendiri, dan didalam kemampuan mereka berkomunikasi satu sama lain, sehingga akan selalu ada dan tidak mungkin dihilangkan selama manusia itu masih ada.

            Proyek pencerahan memang membawa dampak buruk bagi peradaban manusia, tetapi dampak baiknya juga tidak dapat dilupakan begitu saja. Perang memang memakan korban yang semakin besar, tetapi kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya juga bertambah, dan dimana sumber masalah ada, biasanya disitulah sumber solusinya.

            Jika yang salah adalah rasionalitas manusia yang telah menjadi melulu instrumental, maka solusinya adalah rasionalitas yang bersifat komunikatif yang terletak didalam kemampuan manusia untuk mencapai kesalingpengertian terhadap manusia lainnya, yakni didalam bahasa. Dengan merumuskan rasionalitas komunikatif sebagai inti dari seluruh pemikirannya, Habermas berhasil membuat terobosan dari kebuntuan para pendahulunya di Teori Kritis Frankfurt, dan kemudian melebarkan analisis Teori Kritis sampai menyentuh refleksi filsafat bahasa, teori diskursus dan moralitas, serta Refleksi tentang ruang publik, dimana rasionalitas menemukan ruang implementasinya, yakni didalam prakteks dialog dan debat publik untuk mencapai kesaling pengertian.

            Terobosan yang diberikan Habermas dengan konsep rasionalitas komunikatifnya tersebut memang membuka ruang-ruang baru bagi analisis Teori Kritis. Banyak pihak yang memuji terobosan ini sebagai salah satu terobosan teoritis terbaik didalam sejarah filsafat.

            Elemen penindasan tersebut terletak pada klaim universalnya yang dianggap mengeliminasi perbedaan, lokalitas, serta segala sesuatu yang bersifat partikular. Jika refleksi filsafat jatuh pada satu konsep kunci yang dianggap mampu mendefinisikan dan menjadi solusi bagi semua permasalah manusia yang berbeda-beda, maka solusi tersebut sebenarnya sudah menjadi problem baru, dimana perbedaan manusia dengan segala pluralitas kehendak, kebertubuhan, ideologi, pemahaman, latar belakang sosial direduksi kedalam term-term yang mengklaim dirinya universal, padahal sebenarnya menindas.

            Para pemikir postmodern pun mencap Habermas sebagai salah satu filsuf yang berpikir dalam paradigma filsafat subyek yang cenderung mengeliminir perbedaan, dan karena itu menindas. Dengan kata lain, Habermas telah merumuskan sebuah pemikiran yang membenarkan penindasan atas nama universalitas.

            Habermas pun tidak diam saja menerima kritik yang tampak berat sebelah tersebut. Didalam perdebatannya dengan Derrida, Habermas berpendapat bahwa para filsuf postmodern adalah pemikir yang tidak mampu merumuskan konsep yang rigorus didalam menganalisis suatu permasalahan, dan karena itu mereka bermain dengan kategori-kategori yang puitis, estetis, serta tidak sistematis.

Masihkah relevan?

Ditengah semakin banyak problem yang muncul akibat perbedaan persepsi, ideologi, agama, serta kepentingan inilah konsep tersebut dapat digunakan sebagai salah satu alternatif solusi yang paling jitu. Didalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, kemampuan berkomunikasi yang baik untuk mencapai kesalingpengertian bersama mutlak diperlukan, sehingga integrasi masyarakat yang terdiri dari elemen-elemen sosial yang berbeda dapat terus dipertahankan.

            Kritik para pemikir postmodern tersebut memang layak diperhatikan, tetapi kritik tersebut lebih berada ditataran refleksi filosofis, dan tidak menyangkal kegunaan praktisnya sebagai alternatif solusi didalam menjembatani perbedaan yang ada melalui komunikasi yang sehat, inklusif, bebas dominasi, egaliter, serta dilandasi kejujuran, ketepatan, kebenaran, dan komprehensibilitas. Dengan demikian, konsep ini masihlah sangat relevan untuk masyarakat kita.

BAB III

KESIMPULAN

            Lepas dari perdebatan yang kontroversial tersebut, masihkah relevan konsep rasionalitas komunikatif Habermas diera sekarang ini? Ataukah, searah dengan kritik para filsuf postmodern, konsep tersebut sudah usang, dan tidak lagi dapat dijadikan sandaran untuk menganalisis serta memberikan solusi terhadap berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini.

Yang harus juga diingat adalah, rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli membedakan yang mana “berkat” dari “kutuk” yang menimpa kita. Kemampuan membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan utama.

Yang harus juga diingat adalah, rasionalitas janganlah dihapus dari kehidupan manusia, melainkan juga digunakan untuk menghadapai bahaya-bahaya yang seringkali dilahirkannya sendiri. Kita harus lebih jeli membedakan yang mana “berkat” dari “kutuk” yang menimpa kita. Kemampuan membedakan sesuatu yang distingsinya halus semacam itu mungkin tidak lagi dimiliki oleh masyarakat kita yang dibombardir terus menerus oleh logika neoliberalisme, dimana keuntungan finansial menjadi satu-satunya tujuan utama.

DAFTAR  PUSTAKA

  1. Habermas, Jurgen. Maret 2007. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionaris. Terjemahan oleh Nurhadi. Kreasi Wacana Yogyakarta.
  2. Redaksi. November-Desember 2004.  Majalah Basis Edisi 75 Tahun Jurgen Habermas. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

Belum ada Komentar untuk "Rasionalitas Komunikatif Menururt Jurgen Habermas"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel