Masyarakat Komunikatif Dalam Pandangan Habermas
Pendahuluan
Komunikasi
adalah hubungan kontak antar dan antara manusia baik individu maupun kelompok.
Dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tidak komunikasi adalah bagian dari
kehidupan manusia itu sendiri. Manusia sejak dilahirkan sudah berkomunikasi
dengan lingkungannya. Gerak dan tangis yang pertama pada saai ia dilahirkan
adalah sebuahtanda komunikasi.
Eduard
Depari, Ph (Widjaja, 1986:1), memberikan pengertian komunikasi; Komunikasi
dalam organisasi:komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, pesan
yang disampaikan melalui lambing tertentu yang mengandung arti, dilakukan oleh
penyampai pesan ditujukan pada penerima pesan dengan maksud mencapai
kebersamaan. Dalam proses komunikasi kebersamaan tersebut diusahakan melalui
tukar menukar pendapat, penyampaian informasi ataupun perubahan perilaku/sikap.
Pada hakikatnya, setiap proses komunikasi, entah itu proses komunikasi antar
pribadi ataupun komunikasi massa, senantiasa ada empat unsure atau komponen
seperti tersebut di atas. Unsure atau komponen itu masih dapat ditambah dua
unsure atau komponen lagi yakni effect (pengaruh) dan feedback
(timbal balik).
Masyarakat
modern merupakan masyarakat yang mengikuti perkembangan zaman. Banyak hal yang
ada dalam era globalisasi saat ini yang membuat dunia semakin modern, dengan
contoh ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada era globalisasi saat ini
sebagai penentu daya saing sebuah bangsa. Ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) berperan sangat penting dalam pembangunan nasional mengingat
kemampuannya memberikan rasionalitas terhadap kegiatan-kegiatan yang sangat
kompleks dalam waktu yang sangat terbatas. Sehingga perkembangan IPTEK di dunia
sangat cepat yang akan berpengaruh pula terhadap perkembangannya di Indonesia.
Dengan memiliki pengetahuan tentang teknologi, tidak menutup kemungkinan kita
dapat mengenal dunia tanpa harus bingung untuk mengunjunginya satu demi satu.
Inilah sebagai tanda masyarakat dalam era modernisasi secara mengglobal. Dapat
diartikan sebagai perubahan masyarakat irrasional menjadi masyarakat rasional.
Dengan
teknologi pun, masyarakat mendapatkan cara untuk terus tetap berkomunikasi,
dengan alat-alat teknologi yang semakin canggih sekarang. Modernisasi memang
memperlihatkan kondisi-kondisi karakteristik kehidupan sehari-hari yang
tipikal, yang pada gilirannya tergambar dalam orientasi-orientasi dasarnya,
modus-modus perilaku, dan model-model peran anggota-anggota masyarakat ini.
Jadi modernitas dan kehidupan sehari-hari ditinjau dari kerangka ini, adalah
tidak bertentangan satu sama lain. Sebagai aliran yang kontemporer yang
cenderung menganggap proyek modernitas menuju masyarakat rasional sebagai
perwujudan kekuasaan dalam bentuk system ekonomi dan birokratis. Namun,
kekuasaan dapat disingkirkan dengan disebut tindakan komunikatif.
Dengan komunikasi orang dapat
menyampaikan pengalamannya kepada orang lain, sehingga pengalaman itu menjadi
milik orang lain pula, tanpa mengalaminya sendiri. Melalui komunikasi orang
dapat merencakana masa depannya, membentuk kelompok dan lain-lain. Dengan
komunikasi, manusia dapat menyampaikan informasi, opini, ide, konsepsi,
pengetahuan, perasaan, sikap, perbuatan dan sebagainya kepada sesamanya secara
timabal balik, baik sebagai penyampai maupun penerima komunikasi. Sehingga
demikian, terciptalah perkembangan kepribadiannya baik sebagai diri pribadi
maupun social, serta tercapainya pula kehidupan bersama dan bermasyarakat.
Perumusan
Masalah
1. Bagaimana
Jurgen Habermas melihat masyarakat yang
komunikatif saat ini dalam teorinya yakni teori komunikasi berupa bahasa dan
tindakan?
2. Bagaimana
ilmu (ilmu pengetahuan dan teknologi) dipandang sebagai ideologi?
Pembahasan
Habermas Memandang IPTEK
sebagai Alat Komunikasi
Jurgen
Habermas merupakan salah satu tokoh sosiologi yang sangat penting di dunia
sosiologi ini dan dikenal dengan panggilan Habermas. Habermas lahir di
Dusseldorf, 18 Juni 1929. Pada tahun 1971 sampai 1981 menjadi guru besar di
Universitas Frankfurt. Selama bertahun-tahun Habermas menjadi neo-marxisme
terkemuka di dunia. Namun, dalam tahun-tahun tersebut karyanya meluas dan
memasukkan banyak input teoritis yang berlainan. Habermas terus berpegang teguh
pada harapan masa depan dunia modern. Dalam konteks inilah Habermas menulis
tentang modernitas sebagai proyek belum selesai.
Perbedaan
yang menonjol dengan Karl Marx yaitu, kalau Marx memusatkan perhatian pada
kerja, Habermas terutama bergulat pada komunikasi, yang dipandangnya sebagai
proses yang lebih umum daripada kerja dan Habermas pun memusatkan perhatiannya
pada bagaimana struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Habermas
mendambakan masyarakat masa depan yang
ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka atau yang dapat disebut dengan
sentiment normative.
Habermas
sangat tertarik pada tingkatan komunikatif, di mana tindakan agen yang terlibat
tidak dikoordinasikan melalui kalkulasi egosentris kesuksesan namun melalui
tindakan pancapaian pemahaman. Dalam tindakan komunikatif partisipan tidak
hanya berorientasi pada kesuksesannya sendiri, mereka berusaha mencapai tujuan
individu dengan syarat mereka dapat mengharmoniskan rencana bertindak mereka
berdasarkan definisi situasi bersama (Nurhadi, 2008:310).
Habermas,
tindakan komunikatif adalah fenomena manusia yang khas dan paling tersebar
luas. Tindakan komunikatif adalah landasan bagi seluruh kehidupan sosiokultural
maupun bagi seluruh ilmu manusia. Habermas memusatkan perhatiannya pada
komunikasi (bahasa dan tindakan).
Teori
kompetensi komunikatif merupakan suatu pendekatan baru terhadap persoalan yang
sudah dikenal sejak lama:yaitu bagaimana mengartikulasikan dan membumikan
konsepsi rasionalitas yang diperluas. Gagasan teori kritis dikembangkan dengan
cara berlawanan dengan kecenderungan mendefinisikan nalar semata-mata dalam
konteks objektivistik dan instrumental. Tujuan Habermas mengembangkan teori
kompetensi komunikatif adalah untuk menyediakan landasan normative-teoritis
bagi peneliti social.
Komunikasi
yang efektif harus memiliki beberpa elemen, yakni kebenaran (sepakat tentang
dunia alamiah dan objektif), ketepatan (sepakat tentang pelaksanaan norma-norma
dalam dunia social), kejujuran (sepakat tentang kesesuaian antara dunia
batiniah dan ekspresi seseorang), serta komprehensibilitas (sepakat atas keseluruhannya),
hal ini dapat disebut dengan “kompetensi komunikas”. Dalam teori kompetensi
komunikatif, meski memperkenalkan sejumlah elemen teoritis ke dalam proses
interpretif dan mengurangi karakter situasionalnya secara radikal, tidak
berujung pada digantikannya orientasi partner dalam dialog dengan suatu sikap
observasional atau teoretis murni. Meski dibekali dengan teori ini, teoretisi
kritis tidak dapat mengklaim monopoli apa pun atas kebenaran;kritik tidak dapat
dilakukan secara terpisah dari usaha untuk sampai kepada suatu kesepahaman dengan
pihak lain “dalam suatu proses pencerahan hanya mungkin ada partisipan”. Teori
kitis memainkan peranannya untuk mendorong masyarakat menuju masyarakat yang
komunikatif.
Masyarakat
pada hakekatnya komunikatif dan yang menentukan perubahan social bukanlah
semata-mata perkembangan kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan
proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan factor- yang memiliki
“logikanya sendiri”. Pandangan Habermas, masyarakat yang komunikatif mengatur
konflik dengan memisahkan moralitas (pandangan tentang kebaikan manusia sebagai
manusia) dan legalitas (pandangan tentang kebaikan manusia menurut pelaksanaan
hokum), menganut prinsip-prinsip moralitas yang universal, rasional, pribadi dan
formal.
Habermas
beranggapan bahwa kekuasaan harus dirasionalisasikan. Rasionalisasi di sini
tidak dimengerti dalam paradigma kerja, melainkan dalam paradigma
komunikasi. Yang dimaksud adalah
kekuasaan harus dicerahi dengan diskusi rasional yang bersifat public agar para
agar para anggota masyarakat dapatberpartisipasi aktif dalam menentukan
perkembangan politis, termasuk mengarahkan kemajuan teknis masyarakat. Praksis
komunikasi menjadi hakikat masyarakat.
Habermas
menunjukkan bahwa sejak semula pryoek modernitas ini menyingkirkan dan menindas
unsur-unsur komunikatif masyarakat yang disebutnya “kerangka kerja instusional”
dan “rasionalitas etis-oraktis” demi penegakan dimensi kerja sosial yang
disebutnya “subsistem tindakan rasional-bertujuan” dan “rasional
kognitif-instrumental”. Habermas tidak meninggalkan modernitas, melainkan
memperlihatkan bahwa modernitas kapitalis adalah bentuk terdistorsi dari proyek
modernitas, sebab mereduksi komunikasi
pda kerja sosial. Dampak reduksi ini adalah patologi modernitas antara lain
dalam bentuk erosi makna. Sebagai alternatif, Habermas menawarkan sebuah model
yang seimbang untuk pengembangan masyarakat. Dalam apa yang disebutnya “model non-selektif” ini diperlihatkan
bagaimana sektor-sektor lain harus “dicerahi” (enlightened) untuk menuju
masyarakat yang komunikatif.
Komunikasi adalah titik-tolak fundamental. Habermas yang
erat hubungannya dengan usaha mengatasi masalah teori kritis. Permasalahannya
adalah bagaimana pengetahuan kita tentang masyarakat dan sejarah itu bukan
hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong praksis perubahan social. Praksis
adalah konsep sentral dalam tradisi filsafat kritis saat ini. Praksis merupakan
tindakan manusia sebagai makhluk social yang memiliki kesadaran rasional. Dan
sebagai contoh perubahan masyarakat irrasional menjadi rasional yaitu dengan
menggunakan teknologi (iptek). Melalui ilmu pengetahuan dan teknologi,
masyarakat dapat mencapai tujuan masing-masing (sebagai masyarakat yang
komunikatif). Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berperan sangat penting
dalam pembangunan nasional mengingat kemampuannya memberikan rasionalitas
terhadap kegiatan-kegiatan yang sangat kompleks dalam waktu yang sangat
terbatas. Sehingga perkembangan IPTEK di dunia sangat cepat yang akan berpengaruh
pula terhadap perkembangannya di Indonesia. IPTEK berkembang bebas dari
permasalahan yang bersifat membatasi, misalnya kepentingan bangsa/nasional,
preferensi ekonomi atau ras, karena sebagai manifestasi kreativitas dan daya
inovatif manusia, IPTEK umumnya bersifat universal. Dengan berkembangnya
modernisasi, secara tidak langsung mengembangkan IPTEK. Penerapan IPTEK
sebaliknya sangat ditentukan oleh kepentingan-kepentingan tertentu
kelompok/masyarakat untuk tujuan dan sasaran tertentu pula dalam sesuatu kurun
waktu.
Kini, teknologi dapat menghubungkan satu individu dengan
individu lainnya bahkan dapat bertemu dengan beribu-ribu manusia yang belum
dikenal sebelumnya. Komunikasi satu sama lain dapat secara langsung tanpa perlu
kita berhadapan olehnya. Contohnya, internetan, facebook, dapat bertemu
berjuta orang dalam dunia maya, saling menyapa dengan bahasa-bahasa yang
tertuang dalam ketikan dan lalu dapat terbaca oleh orang yang tertuju bahkan
semua orang di dalamnya, serta dengan adanya webcam, berkomunikasi
secara langsung dalam dunia maya dengan dapat melihat wajahnya secara langsung,
bahkan antar Negara pun dapat dilakukan dan dengan waktu yang berbeda satu sama
lain dapat dihubungkan. Dan masih banyak teknologi yang menjadi alat
berkomunikasi individu. Hal ini yang sebagai suatu tindakan masyarakat pada
umumnya. Yang menurut Habermas, respon yang tepat atas deformasi subjek yang
berasal universalisasi rasionalitas teknologis dan logika dominasi bukanlah
penggusuran ilmu dan teknologi melalui beberapa versi “kebangkitan alam yang
telah hancur” namun suatu pembudidayaan pemahaman reflektif atas ilmu sebagai
kategori pengetahuan, pemahaman atas control teknis sebagai satu cara
bertindak. Tindakan rasionalitas sebagai penaklukan, kekuasaa, atau yang disebut
dengan “rasio yang berpusat pada subjek”.
Habermas berpegang teguh pada pendiriannya
sejak semula: modernitas kapitalis adalah modernitas yang terdistorsi, sebuah
dialektika pencerahan, dan cacat-cacat ini bisa diatasi dengan pencerahan labih
lanjut dalam suatu negasi tetap terhadap rasio yang berpusat pada subjek dalam
arti tindakan komunikatif. Berbeda dengan pemikiran postmodern yang mengumumkan
kesudahan modernitas, Habermas berpendirian bahwa modernitas adalah proyek yang
belum selesai, dan tugas historis teori kritis adalah membuat pencerahan lebih
lanjut menuju masyarakat yang komunikatif.
Ilmu
Sebagai Ideologi
Teknologi dan ilmu sendiri menjadi ideologi. Demikian
tesis Herbert Marcuse (Wartaya, 1987:308). Menurut Marcuse teknologi dan ilmu
telah menjadi cara berfikir yang positif. Inidiartikan sebagai kesadaran
teknokratik (technocratic conciousness). Kesadaran teknokratik
telahmendominasi kehidupan manusia sehingga manusia diarahkan dan ditentukan
oleh dominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu dan teknologi telah menjadi
ideologi, karena telah melegitimasi masyarakat dan keadaannya. Dalam
kelanjutannya, Habermas mengatakan, hadirnya teknologi dan perkembangan ilmu
yang cepat dalam masyarakat telah menimbulkan perubahan. Perubahan yang sangat
mendasar terjadi dalam masyarakat adalah masalah kepribadian. Perkembangan
faktor teknik sekarang sudah cukup hebat untuk menggerakkan proses yang
melumpuhkan faktor manusia dan memunculkan sistem “manusia mesin”. Sedangkan
unsur kepribadian terlalu lemah untuk menghadapi kenyataan itu, yang
digambarkan dengan melemahnya peran manusia dalam keluarga dan pekerjaan.
Sebagai ilustrasi, generasi muda sekarang adalah generasi muda yang dininabobokan
oleh mesin (play station, video, game-game lainnya, makanan siap saji,
dan lain sebagainya) sebagai manifestasi dari Iptek. Oleh karena itu, Russel
dalam Arifin (1992: 116) menyatakan bahwa tanpa memperhatikan aspek kehidupan
manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan akan menghadirkan “tirani”.
Tirani-tirani telah mendorong aspek gerak ilmu dan teknologi ke arah
penyimpangan yang cukup mendasar, karena pengembangan ilmu dan teknologi tidak
lagi dibangun atas kemampuannya yang didasarkan oleh kontemplasi (perenungan),
melainkan
melalui jalur manipulasi (simulakra) (lihat kasus Super Toy, motor dan mobil matic).
Karena itu, sebagai sebuah kekuatan teknologi telah mengembangkan praktek palsu
yang tidak lagi berorientasi pada pragmatisme, melainkan karena dorongan cinta
kekuasaan. Dalam hal yang demikian, manusia modern sudah tidak lagi mengamati
keterbatasan ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari perilaku dalam adopsi,
penciptaan, dan pengembangannya telah merusak hakekat kehidupan, baik yang
bersifat alami maupun yang bersifat sosial. Ketimpanganketimpangan ekonomi,
politik, keamanan, sosial, serta moral telah menghadapkan manusia dengan masa
depan yang tidak jelas. Menurut Habermas, semakin kuat arah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menandai kapitalisme lanjut, yakni pengilmuan
teknologi dan hubungan timbal balik yang erat antara perkembangan teknologi dan
kemajuan sains modern. Model-model interaksi sosial dan pemahaman diri
masyarakat sendiri diganti dengan model-model pengetahuan ilmiah. Dengan kata
lain, pemahaman diri manusia dibawah kategorikategori tindakan
rasional-bertujuan dan tingkah laku adaptif. Kesadaran jenis baru yang muncul dalam
masyarakat kapitalis lanjut ini disebut oleh Habermas sebagai kesadaran
teknokratis. Menghadapi masalah ini, kita mempunyai pemikiran tentang bagaimana
ilmu dan teknologi itu mampu mengadaptasi sisi-sisi kehidupan lain, terutama
yang mengintrogasikan antara otak dengan hati melalui rasio, moral, seni, dan
agama, serta pandangan persaudaraan manusia yang bersifat universal.
Praxis
hidup bagi Habermas merupakan tujuan ilmu-ilmu. Maka peranan ilmu dalam suatu kebudayaan
yang telah terbentuk tidak boleh dinilai dari hasilnya di bidang kebenaran
ilmiah, tetapi nilai harus diberikan juga pada dampak nyata atas situasi
manusia. Dominasi ilmu dan teknologi harus diletakkan dalam komunikasi aksi.
Artinya, ilmu dan teknologi perlu dikembalikan ke arah tujuan-tujuan praksis
hidup manusia. Manusia harus mengungkapkan kebebasannya. Ini berhubungan dengan
kepentingan etika yaitu kepentingan tanggung jawab dan emansipatoris. Dengan ilmu
kritis, Habermas membebaskan sifat-sifat ilmu yang mendominasi manusia. Dapat
dikatakan bahwa ilmu dan teknologi yang telah menjadi ideologi dibebaskan
dengan ilmu sosial kritis yang didorong oleh kepentingan tanggung jawab dan emansipasi.
Habermas dalam Hardiman (1993:XIV) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
yang melahirkan masyarakat rasionalisme bergaya Barat yang mendasari
praktik-praktik totalitarianisme modern mempunyai banyak cacat. Cacat-cacat
modernisasi dalam totalitarianisme, hilangnya makna, anomie, penyakit jiwa,
alienasi, dan sebagainya. Semua ini adalah akibat dari rasionalisme Barat pada
paradigma filsafat kesadaran tersebut. Sehingga pola hidup bergaya “Barat” dan
konsumtifpun akhirnya tidak bisa dibendung. Cacat-cacat ini hanya bisa diatasi
dengan pencerahan lebih lanjut, yakni melanjutkan proyek modernitas dalam
wawasan rasio komunikatif. Dan ditempuh untuk mengarahkan perkembangan politik,
ilmu pengetahuan, masyarakat, kebudayaan, ke sebuah cita-cita universal yang
melandasi segala praksis sosial yang rasional. Citacita ini adalah menuju
sebuah masyarakat yang komunikatif.
Habermas merumuskan dasar epistemologinya dengan mengatakan bahwa segala bentuk ilmu dijuruskan oleh kepentingan kognitif, maka tidak bebas-nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris. Istilah “emansipasi” ini bukan sematamata sebagai pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperti : perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas, tetapi juga kendala-kendala internal, seperti: gangguan-gangguan psikis, dan “ketidaktahuan”. Seorang mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi ketidaktahuan menjadi lebih tahu. Tetapi kata “tahu” di sini tentu relatif terhadap situasi pengetahuan pada zaman tertentu. Dengan kata lain emansipasi, adalah proses pencerahan atas “ketidaktahuan” akibat dogmatisme. Lama-kelamaan ilmu-ilmu positif dan teknologi diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Habermas mengambil kosa-kata Marx bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-18 ini semakin menjadi “kekuatan-kekuatan produktif” di dalam masyarakat. Di dalam kondisi sosial macam ini, menurut Habermas, hubungan teori dan praksis mengalami perubahan. Akibatnya, apa yang dimengerti sebagai “rasio”, “dogmatisme”, dan “keputusan” juga mengalami perubahan. Kegiatan-kegiatan produktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan, dan administrasi menjadi saling terkait dan saling menopang mengarah pada penaklukan alam, atau apa yang oleh Habermas disebut “control teknis atas alam”. Semua ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan teknik-teknik yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu. Habermas melihat bahwa pada abad ini, lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan, direduksi ke dalam kekuatan kontrol teknis.
Kesimpulan
Masyarakat
pada hakekatnya komunikatif dan yang menentukan perubahan social bukanlah
semata-mata perkembangan kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan
proses belajar dalam dimensi praktis-etis. Teknologi dan factor- yang memiliki
“logikanya sendiri”. Pandangan Habermas, masyarakat yang komunikatif mengatur
konflik dengan memisahkan moralitas (pandangan tentang kebaikan manusia sebagai
manusia) dan legalitas (pandangan tentang kebaikan manusia menurut pelaksanaan
hokum), menganut prinsip-prinsip moralitas yang universal, rasional, pribadi
dan formal.
Habermas
dalam tindakan komunikatif adalah fenomena manusia yang khas dan paling
tersebar luas. Tindakan komunikatif adalah landasan bagi seluruh kehidupan
sosiokultural maupun bagi seluruh ilmu manusia. Habermas memusatkan
perhatiannya pada komunikasi (bahasa dan tindakan).
Melalui IPTEK masyarakat dapat berkomunikasi karena
teknologi merupakan sebuah alat yang dapat menghubungkan individu satu dengan individu
lainnya. Ilmu dan teknologi merupakan karya kreatif
manusia yang tak ternilai harganya bagi kehidupan manusia, yang membuka mata di
dunia luas. Sehingga tidaklah berlebihan bila saat ini manusia dikatakan berada
dalam suatu krisis global yang serius, yaitu krisis yang sangan kompleks dan
mutidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Ilmu dan
teknologi , keduanya merupakan piranti kehidupan yang sangat proaktif. Ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menjadi salah satu faktor yang sangat
berpengaruh pada era globalisasi saat ini sebagai penentu daya saing sebuah
bangsa.
Komunikasi adalah titik-tolak fundamental. Habermas yang erat hubungannya dengan usaha mengatasi masalah teori kritis. Melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat dapat mencapai tujuan masing-masing (sebagai masyarakat yang komunikatif).
Belum ada Komentar untuk "Masyarakat Komunikatif Dalam Pandangan Habermas"
Posting Komentar