Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen di Indonesia

Politik merupakan hal yang tidak baru bagi perempuan kota, namun hal yang berbeda bagi perempuan pedesaan yang sangat jauh dari akses mengenai politik. Hal ini bisa dipicu karena ketidaksadaran dan masalah ekonomi, mengakibatkan perempuan semakin miskin dalam pengetahuan akan politik, dan dampak negatifnya adalah ketidaksadaran dan ketidakmampuan perempuan untuk berperan diwilayahnya maupun di bangsa sendiri, ini berarti salah satu persoalan mendasar perempuan adalah kemiskinan mereka dibidang politik. Dunia perempuan adalah dunia yang berbeda dengan dunia laki-laki, kebutuhan perempuan sangat berbeda dengan kebtuhan laki-laki. Sehingga kebutuhan perempuan dan permasalahan perempuan hanya bisa dijawab oleh perempuan sendiri bukan laki-laki. Keterwakilan Perempuan menjadi sangat penting. Namun bagaimana mungkin perempuan bisa menjadi jawaban bagi permasalahan dan kebutuhannya jikalau perempuan itu tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan akan politik? Untuk mempunyai kesadaran dan pengetahuan diperlukan suatu upaya atau cara sebagai solusi dari kemiskinan perempuan itu. Pemberdayaan merupakan suatu upaya atau cara bagi perempuan untuk mempercepat tercapainya kualitas hidup perempuan. Pemberdayaan dapat dilakukan oleh pemerintah, lembaga masyarakat maupun institusi-institusi lainnya.

 Pada konferensi perempuan tahun 1994 yang dihadiri 27 negara, menyatakan bahwa akses perempuan Asia untuk terjun ke bidang politik masih rendah. Hal ini disebabkan karena perempuan Asia pada umumnya masih terbelenggu masalah klasik, yaitu adanya diskriminasi, kurangnya dana dan dukungan (Jurnal Perempuan 2001:27). Pengertian politik adalah kekuasaan yang sekarang berkembang dan makin menyingkirkan perempuan serta pandangan perempuan dalam kehidupan berpolitik. Pengertian politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh berkuasa. Padahal jika kita melihat defenisi politik yang sebenarnya adalah suatu sarana pencapaian kedudukan atau kekuasaan secara legal dan rasional dan bagaimana menjalankan kekuasaan yang dimiliki sesuai dengan peraturan yang berlaku dan berwujud pada kemakmuran masyarakat dan wilayah yang dikuasainya itu.

Pandangan Aristoteles sebagai pandangan politik klasik, membuat dikotomi kepentingan publik dan kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu. Pengembangan pengertian politik didasarkan pada cara pandang biner patriarchist, yang akhirnya menciptakan pengertian politik yang semula sebagai suatu musyawarah warga negara untuk membicarakan dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah berubah. Ia telah menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan kekuasaan dimanapun kekuasaan itu ditemukan (Robson dalam Nunuk P.M. 2004 :122 ).

Kesempatan wanita dalam politik mulai diperhatikan dengan tindakan khusus sementara (affirmatife action) untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan sistem kuota 30% sehingga mencapai sedikitnya minoritas kritis yaitu 30% dari total anggota parlemen. Tetapi persoalan tidak selesai dengan kuota saja, karena daftar caleg yang disusun oleh partai peserta pemilu menempatkan perempuan pada daftar nomor bawah sehingga sulit untuk menang dalam pemilu, sedangkan laki-laki tetap berada pada nomor urut teratas, hal tersebut karena adanya anggapan bahwa laki-laki dianggap lebih berkualitas, dan lebih unggul dalam bidang politik. Dalam hal ini budaya Patriarkhi determinan terhadap kuantitas perempuan dalam legislatif (Jurnal Politeia Vol II, 2006:74). Affirmative action ini membawa perdebatan pada isu kuantitas dan kualitas. Lembaga-lembaga non pemerintah di Indonesia mengambil angka 30% sebagai angka keterwakilan perempuan di parlemen sebagai jumlah minimum agar keputusan yang dambil parlemen bisa menyuarakan aspirasi, nilai dan kepentingan perempuan.

B.     Perumusan Masalah

a.      Bagaimana keterwakilan perempuan dalam parlemen di Indonesia?

C.    Pembahasan

Seperti halnya Indonesia yang memiliki keragaman secara geografs, budaya maupun sosial, perempuanIndonesia pun beragam. Peran perempuan menjadi semakin publik; perempuan kini menikmati kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki dan merupakan bagian yang signifkan dari tenaga kerja. Perempuan yang bekerja di pelayanan publik hampir mencapai setengahnya, dan sekarang terdapat lebih banyak perempuan yang duduk di parlemen dibandingkan periode-periode sebelumnya. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjunjung hak-hak perempuan melalui berbagai peraturan hukum dan menunjukkannya dengan menandatangani sejumlah komitmen lterkait dengan kesetaraan gender. Sementara Keputusan Presiden yang dikeluarkan tahun 2000 telah memberikan mandat untuk pengutamaan gender kepada pemerintah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah membuat rancangan sebuah undang-undang baru tentang kesetaraan gender yang diimplementasikan tahun 2011 yang lalu. Undang-undang tersebut menggantikan Keputusan Presiden dalam memastikan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender supaya diimplementasikan di keseluruhan kementerian dan pemerintahan lokal dan undang-undang ini pun akan memiliki yurisdiksi hukum untuk melakukan hal-hal tersebut sebelumnya

Pada sejarah pemerintahan kita, pada masa orde lama, jumlah perempuan dalam pemerintahan berada di bawah 10%, pada masa orde baru jumlah perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan hanya berkisar 10 - 11% saja, hal yang tidak jauh berbeda pada masa reformasi yang hanya 9% saja. (Jurnal Perempuan ; 2001:21).

Kesenjangan gender di kehidupan publik dan politik merupakan sebuah tantangan global yang terus dihadapi oleh masyarakat dunia pada abad ke 21. Meskipun telah ada berbagai konvensi dan komitmen internasional, namun secara rata-rata jumlah perempuan di dalam parlemen di dunia ini selalu pada tataran minoritas. Dari 190 negara, hanya tujuh negara dimana perempuan menjadi presiden atau perdana menteri. Hadirnya perempuan sebagai bagian dari kabinet yang ada di dunia ini atau walikota, jumlahnya tak mencapai 7 dan 8 persen. Indonesia berada di nomor 80 dari 156 negara yang ada di dalam Indeks Pembangunan Gender atauGender Development Index (GDI) pada tahun 2007. Pada tahun 2009, angka ini merosot ke urutan 90,artinya perempuan di Indonesia masih belum menikmati hak dan standar yang sama dengan para laki-laki. GDI mengukur perkembangan manusia, namun mempertimbangkan perbedaan gender.Komponen-komponen GDI sama dengan yang digunakan dalam Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI).

Budaya patriarkhi yang ada di Indonesia membawa perempuan dalam posisi yang subordinat dalam politik. Budaya patriarkhi yang terakumulasi mengakibatkan terciptanya cara berpikir pasangan (biner) dan dikotomis yang memposisikan si kuat (yang berkuasa) yang menentukan kehidupan si lemah, (Aristoteles dalam Nunuk P. Murniati 2004 : 119).

Undang-undang Dasar Republik Indonesia tidak memberikan batasan akan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kehidupan publik telah meningkat namun partisipasi dan keterwakilan mereka di lembaga legislatif tingkat nasional maupun provinsi, dan di seluruh lembaga pemerintahan masih rendah. Gerakan perempuan di Indonesia memiliki keterlibatan aktif di bidang politik, namun masih ada kesenjangan dalam hal partisipasi dan keterwakilan perempuan di struktur politik formal. Mereka belum terwakili secara setara di lembaga legislatif tingkat nasional sejak tahun 1955, ketika perempuan menduduki 5,9 persen kursi di parlemen. Meskipun telah ada kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan sejak tahun 1971, ada beberapa pengecualian, termasuk pada Pemilu 1977 ketika jumlah perempuan terpilih melorot dari 7,8 persen menjadi 6,3 persen jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya (1971) dan kembali mengalami penurunan lagi pada pemilu 1999 menjadi 9 persen jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya sebesar 10,8 persen pada tahun 1997. Meskipun demikian peningkatan keterwakilan perempuan di DPR RI pada dua pemilu terakhir, 11,8 persen pada tahun 2004,dan 18 persen pada pemilu 2009 cukup substantif. Kecenderungan meningkat dalam hal keterwakilan perempuan di DPD RI dari 22,6 persen pada 2004 menjadi 26,5 persen pada pemilu 2009 juga cukup menggembirakan.

 Transisi yang dialami Indonesia menuju demokrasi pada periode pasca Orde Baru mengalami berbagai perubahan yang berupaya untuk memastikan partisipasi masyarakat dan pengikut sertaan suara mereka dalam tata pemerintahan. Untuk memperbaiki ketidak seimbangan gender di lembaga legislatif tingkat nasional, sub-nasional dan lokal, sebuah kuota yang tidak wajib sifatnya diperkenalkan melalui UU No.12/2003 mengenai Pemilihan Umum. Pasal 65 dari UU tersebut mengatur bahwa setiap partai politik harus setidaknya memiliki 30 persen calon anggota perempuan di tingkat nasional, provinsi dan lokal di masing-masing daerah pemilihan umum. Pada pemilihan umum tahun 2004, selain adanyaperaturan hukum untuk kuota gender, tidak ada peningkatan signifkan dalam keterwakilan perempuanyang terlihat. Hanya 11,8 persen perempuan terpilih untuk menduduki kursi di DPR RI karena undang-undang yang ada tidak mewajibkan partai politik mencalonkan 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif. Kondisi ini memunculkan kebutuhan akan adanya gerakan perempuan untuk perubahan lebih jauh supaya menjadikan alokasi kuota 30 persen bagi perempuan dalam daftar calon legislatif menjadi kewajiban bagi partai politik mereka. Hal ini akan sejalan dengan kalimat yang ada dalam UU Pemilu No.10/2008. Pasal 53 dari UU ini mensyaratkan partai politik untuk menominasikan setidaknya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif terbuka dalam Pemilu 2009. Kekurangan dalam UU ini adalah tidak adanya sangsi bagi partai politik yang tidak mematuhinya. Sebagai hasil, enam dari tiga puluh delapan partai yang ikut serta dalam pemilu 2009 gagal menominasikan 30 persen calon legislatif perempuan dalam daftar calon anggota legislative  yang mereka usulkan.

 Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) meningkat dari 11,8 persen di pemilu yang diselenggarakan pada tahun 2004, menjadi 18 persen pada pemilu 2009. Ini adalah angka tertinggi keterwakilan perempuan di sejarah politik Indonesia. Meskipun demikian, ada variasi persentase perwakilan perempuan di DPR RI dari berbagai partai politik. Perwakilan perempuan terendah di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen.

Gambar 1:,Sumber: “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia: Daftar Anggota - Berdasarkan Fraksi “ Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (http://www.dpr.go.id/anggota/per-fraksi).

Perempuan di Fraksi DPR RI (2009)

Partai-partai ini termasuk PPRN, GERINDRA (Gerakan Indonesia Raya), PAN (Partai Amanat nasional), Partai RepublikaNusantara, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Patriot.

 

D.    Kesimpulan

Kebijakan pemerintah melalui UU No.12/2003 mengenai Pemilihan Umum  Pasal 65 dari UU tersebut mengatur bahwa setiap partai politik harus setidaknya memiliki 30 persen calon anggota perempuan di tingkat nasional, provinsi dan lokal di masing-masing daerah pemilihan umum. Serta UU Pemilu No.10/2008. Pasal 53 dari UU ini mensyaratkan partai politik untuk menominasikan setidaknya 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif terbuka dalam Pemilu 2009.  Keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memiliki variasi tersendiri dari berbagai partai politik. Perwakilan perempuan terendah di DPR RI adalah Partai Keadilan Sejahtera yang jumlahnya 5,3 persen, sementara Partai Demokrat memiliki keterwakilan tertinggi sebesar 24,3 persen.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Muniarti. P. Nunuk, 2004 ; Getar Gender I : Perempuan Indonesia Dalam Perspektif Sosial, Politik Ekonomi, Hukum dan HAM, Yayasan Indonesia Tera, Jakarta, Ikapi dan The Ford Foundation.

Shanti, Budi, 2001, Jurnal Perempuan, Perempuan dan Kewarganegaraan Dimana? ; Kuota Perempuan Parlemen ; Jalan menuju Kesaaraan Politik, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan.

Sitepu, P, Anthonius, dkk, 2006, Jurnal Ilmu Politik, Politea ; Militer dan Politik, Medan, Dep. Ilmu Politik FISIP USU

 

Belum ada Komentar untuk " Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel