Ideologi, Ilmu Pengeahuan dan Kepentingan
- Latar
Belakang
Juergen
Habermas sebagai pembaharu teori kritis melakukan penelitian tentang hubungan
antara ilmu pengetahuan dengan kepentingan. Menurut teori kritis, dibalik
selubung obyektivitas ilmu - ilmu tersembunyi kepentingan - kepentingan
kekuasaan (Magnis-Suseno, 1992:182). Menurut Habermas, ilmu pengetahuan hanya
muncul karena berkaitan dengan kebutuhan manusia yang fundamental, dan hal ini
bertentangan dengan pandangan umum yang berlaku bahwa ilmu - ilmu bebas dari
kepentingan dan nilai (value free). Atas dasar itulah, Habermas membedakan ilmu
- ilmu menjadi tiga kelompok, yakni (1) ilmu - ilmu empiris - analitis, (2)
ilmu - ilmu historis - hermeneutis, dan (3) ilmi - ilmu tindakan (reflektif -
kritis)(ibid.183).
Ilmu - ilmu
empiris - analitis (misal : ilmu alam) bertujuan pada penguasaan alam dengan
cara mencari hukum - hukum yang pasti sehingga manusia dapat menyesuaikan diri
dengan alam bahkan memanfaatkannya (ibid). Ilmu - ilmu historis - hermeneutis
bertujuan memahami lingkungan dalam interaksi
dan bahasa, yakni
menangkap makna (ibid). Maksud
dasarnya adalah usaha
untuk meningkatkan saling pengertian
dengan tujuan tindakan
bersama (ibid).
- Perumusan
Masalah
Dari latar belakang yang dijelaskan di atas, dapat kita rumuskan satu
pertanyaan yaitu :
Adakah hubungan dari penelitian yang dilakukan Habermas dengan ideologi-ideologi
yang ada sekarang ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kritik Teori Kritis
Menurut Habermas,
pekerjaan dan komunikasi (interaksi) merupakan
tindakan dasar manusia (Magnis-Suseno, 1992:187). Bekerja
adalah sikap manusia terhadap alam dan komunikasi adalah sikap terhadap sesama
manusia (ibid). Dalam pekerjaan, hubungan manusia - alam tidak simetris,
manusia mengerjakan alam sedangkan alam bersifat pasif (ibid). Melalui
pekerjaanlah manusia menguasai alam. Dalam komunikasi, manusia berhubungan
dengan manusia lain secara simetris timbal - balik, saling mengakui kebebasan
masing - masing (ibid). Menurut Habermas, pekerjaan dan komunikasi berjalan
menurut aturan yang berbeda dan mempunyai rasionalitas yang berbeda pula
(ibid).
Pekerjaan merupakan
tindakan yang memuat
rasionalitas sasaran, maka
merupakan tikdakan
instrumental. Sedangkan komunikasi
merupakan interaksi yang
dilakukan secara simbolis menggunakan bahasa dan norma -
norma. Tujuan pekerjaan terletak di luar pekerjaaj itu sendiri sedangkan
komunikasi bertujuan mengembangkan kepribadian orang. Pekerjaan dilakukan
dengan landasan aturan teknis, sedangkan interaksi didasari oleh norma - norma
yang hanya dapat dijamin keberlakuannya melalui kesepakatan dan pengakuan
bersama. Dengan demikian, teori perkembangan masyarakat bukanlah
proses yang sederhana
dalam dimensi ketrampilan -
ketrampilan teknis, melainkan
juga dalam dimensi normatif - etis; disinilah koreksi terhadap teori Marx
(Magnis-Suseno, 1992:188).
Teori kritis (Habermas) muncul dari
pandangan historis, bukan
positivistis. Dengan demikian, menurut habermas, arsitektur jika
dipandang sebagai kenyataan historis, bukan semata - mata empiris, maka
refleksi atas realitas historis akan membawa pencerahan dan memungkinkan
masuknya cita -cita dan nilai - nilai etis (bios-theoretikos). Dengan demikian,
teori kritis tentang arsitektur akan bersifat reflektif - kritis.
Kesadaran positivistis melihat realitas atas dasar paham obyektif “bebas
nilai”, yang mengatakan “apa adanya” tanpa campur tangan akal budi dan kehendak
manusia. Kesadaran historis melihat realitas atas dasar paham nilai atau
kepentingan (Habermas) (a). menguasai alam, (b) menangkap makna, dan (c)
emansipatoris. Hal itu merupakan konsekuensi dari pandangan Habermas bahwa
semua ilmu tidak bebas nilai.
Arsitektur dilihat dari sudut pandang historis akan memumculkan teori
arsitektur yang kritis dan bersifat reflektif, yang melampaui teori arsitektur
positivistik karena direfleksikan terhadap cita - cita dan nilai - nilai etis.
Tidak berhenti pada abstraksi fakta - fakta empiris, melampaui karena refleksi
dan penjiwaan adanya cita - cita dan nilai - nilai emansipatoris.
Arsitektur obyektif merupakan arsitektur yang lahir dari reaksi langsung
terhadap fakta arsitektur empiris; arsitektur yang “bebas nilai” (?).
Arsitektur subyektif adalah arsitektur yang dilandasi pemikiran reflektif
subyektif dan landasan intensi atau nilai tertentu, dapat bersifat spekulatif
atau bersifat kritis karena direfleksikan untuk suatu maksud perubahan
emansipatoris.
B.
Paradigma Arsitektur Kritis
Dilema yang dihadapi dalam dunia arsitektur, melalui kritik Habermas,
adalah munculnya kutub pemikiran arsitektur yang bersifat empiris - analitis,
arsitektur yang bersifat historis - hermeneutis, dan arsitektur yang kritis -
emansipatoris. Konsekuensi dari paradigma itu adalah munculnya kategori teori
yang khas bagi masing - masing sudut pandang.
Arsitektur dalam paradigma empiris - analitis merupakan arsitektur obyektif
yang bebas nilai. Arsitektur merupakan kenyataan empiris, arsitektur empiris,
yang merefleksikan kondisi dan keadaan subyek secara obyektif faktual. Teori
arsitektur yang muncul adalah teori tradisional yang bersifat kontemplatif,
eksplanatif, mengandung kontrol namun belum dijiwai nilai - nilai etis dan cita
- cita emansipatoris.
Arsitektur dalam paradigma historis - hermeneutis merupakan arsitektur
subyektif yang sarat dengan nilai - nilai
kemanusiaan, merupakan ekspresi jatidiri manusia yang mengundang untuk
dipahami. Arsitektur dalam paradigma ini merupakan kenyataan etis - transenden
(arsitektur subyektif), yang mengekspresikan manusia dan belum mengupayakan
perubahan menuju ke arah emansipatoris kehidupan manusia.
Dari paparan ini terkandung pemahaman bahwa terjadi pergeseran mendasar
dari “paradigma kerja” (Marx) ke arah “paradigma komunikasi” (Habermas).
Menurut paradigma kerja, berarsitektur adalah bekerja, ada
hasil kerja yang
berada di luar
kerja itu sendiri.
Sedangkan menurut paradigma komunikasi, berarsitektur
adalah berkomunikasi, proses
dan produk kegiatan
komunikasi saling melekat.
Arsitektur berkesadaran kritis tidak bebas nilai (value free), malahan
terikat nilai (value bound) dan maksud perubahan emansipatoris. Nilai merupakan
salah satu kepentingan yang bersifat transendental, yang menjadi prasyarat bagi
munculnya arsitektur. Arsitektur mengandung tujuan (nilai) etis ke arah
emansipatoris.
BAB III
KESIMPULAN
Arsitektur empiristis yang
mendasarkan pada teori
arsitektur positivistis bersifat
kontemplatif, eksplanatif, mendukung penciptaan yang lama dalam situasi
baru. Arsitektur historis - hermeneutis mendasarkan pada kepentingan ekspresi
diri, yang terbatas pada ungkapan jatidiri manusia. Arsitektur kritis mendasarkan
pada “teori arsitektur kritis”
yang dilandasi nilai
kepentingan emansipatoris,
mendorong penciptaan arsitektur yang makin mengembangkan kehidupan manusia.
Arsitektur yang dipandang dengan kesadaran positivistis akan melahirkan
teori arsitektur positivistis, yang melihat realitas secara obyektif “bebas
nilai”. Sebagai landasan aksi memang memadai, namun ciptaan baru atas dasar
asumsi - asumsi lama toh akan menghasilkan yang lama muncul dalam situasi baru.
Menciptakan status quo !!! yang tidak mengarah ke emansipatoris.
Arsitektur dalam paradigma
ilmu tindakan merupakan
arsitektur subyektif yang
sarat dengan pemikiran kritis dan
muatan nilai ke arah cita - cita etis pembebasan manusia dari segala belenggu
yang membatasi kemerdekaannya. Arsitektur dengan paradigma ini dilandasi teori
arsitektur kritis, yang menembus kenyataan empiris karena dilandasi nilai -
nilai etis dan bersifat reflektif - kritis. Arsitektur merupakan tindakan
interaksi manusia dengan
manusia, dan hasilnya
adalah tahap - tahap pengembangan ke arah emansipatoris.
DAFTAR PUSTAKA
- Hardiman,
Fransisco Budi, 1990, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan, Yogyakarta, Kanisius.
- Kruft,
Hanno-Walter, A History of Architectural Theory, From Vitruvius to the
Present, New York, Princeton Architectural Press.
- Lang,
Jon, 1987, Creating Architectural Theory, The Role of Behavioral Sciences
in Enviromental Design, New York, Van Nostrand Reinhold Company.
- Magnis-Suesno,
Franz, 1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Kanisius.
- Sindhunata,
1983, Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Max
Horkheimer dalam rangka Sekolah Frankfurt, Jakarta, Gramedia.
Belum ada Komentar untuk "Ideologi, Ilmu Pengeahuan dan Kepentingan"
Posting Komentar