Hubungan Kekuasaan Dengan Pengetahuan

A.    Pemikiran Michel Foucault Mengenai Kaitan Kekuasaan dengan Pengetahuan

Menurut Foucault tiap-tiap zaman mempunyai pengandaian-pengandaian  tertentu, cara-cara pendekatan tertentu, syarat-syarat kemungkinan tertentu, prinsip-prinsip tertentu. Dengan kata lain perkataan kita boleh mengatakan juga bahwa tiap-tiap zaman mempunyai suatu apriori historis tertentu. Apriori tersebut kemudian membentuk suatu sistem yang kuat. Secara tidak sadar apriori yang telah membentuk sistem tersebut kemudian menentukan pemikiran, pengamatan dan pembicaraan orang-orang pada zaman tersebut.

Foucault menggunakan istilah episteme untuk mewakili apriori yang membentuk sistem yang  kuat. Setiap zaman mempunyai episteme tertentu yang menjadi fondamen dan landasan epistomologis bagi zaman itu. Episteme inilah yang membuat setiap zaman berbeda dari satu zaman ke zaman yang lain. Episteme juga menentukan cara ilmu pengetahuan diterapkan. Foucault kemudian mencoba untuk menggali episteme-episteme dari setiap zaman. Foucault menekankan bahwa dia tidak bermaksud melukiskan sejarah ilmu pengetahuan. Bagi dia ilmu pengetahuan hanya merupakan satu gejala saja yang dijumpai dalam suatu periode. Menurut dia bahwa ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia sebagai obyeknya baru muncul pada abad ke-19. Seperti yang dikatakan oleh K. Bertens: “Bagi Foucault biologi, ekonomi dan linguistik tidak terhitung ilmu pengetahuan kemanusiaan itu, karena obyeknya bukanlah “manusia” pada umumnya. Adapun ekonomi dan linguistik menyelediki hukum-hukum yang mengunjukkan diri begitu saja kepada manusia tanpa dikuasai olehnya, sama seperti ia juga tidak berkuasa atas hukum-hukum alam.

Foucault berpendapat bahwa ilmu pengetahuan kemanusiaan adalah: psikologi, sosiologi dan studi mengenai kesustraan serta mitologi. Ilmu-ilmu tersebut sukar dalam menempatkan statusnya sebagai sebuah ilmu. Seperti sosiologi sendiri memiliki tiga paradigma: fakta sosial, definisi sosial dan behaviorisme. Padahal sebuah ilmu hanya memiliki satu paradigma. Kesusahan tersebut menurut Foucault akan membuat ilmu-ilmu kemanusiaan tersebut mencari modelnya pada biologi, ekonomi dan linguistik sebagai model dominan. Foucault meramalkan kematian manusia, karena manusia yang dipelajari mulai abad ke-19 akan mulai dilupakan sebagai obyek kajian.

Menurut Foucault bahwa pengetahuan akan memiliki kekuasaan. Dan kuasa memprodusir pengetahuan. Pengetahuan bukan saja berguna bagi kuasa. Namun pengetahuan itu sendiri menyediakan kuasa. Karena tidak ada pengetahuan yang tidak berpihak, semua pengetahuan akan berpihak pada suatau klaim kebenaran. Kebenaran inilah yang menjadikan pengetahuan menjadi bekuasa. Sekedar contoh Roy Suryo seorang yang dianggap ahli dalam bidang teknologi informasi, kemudian dia ditanya tentang suatu hal yang berkaitan dengan bidang tersebut. Jawaban pakar tersebut akan dianggap benar oleh orang-orang awam, karena kita sebagai orang awam tidak memiliki pengetahuan pada bidang ini. Padahal bisa jadi dia hanya memberikan jawaban yang ngawur dengan sedikit istilah-istilah ilmiah yang kita tidak terlalu tahu tentangnya. Bisa kita lihat bahwa Roy Suryo memiliki pengetahuan yang berpihak kepadanya dan pengetahuan tersebut menjadikan dia berkuasa untuk mengomentari permasalahan dalam bidang teknologi informasi, yang tentu saja kita orang awam tidak bisa membantahnya.

Kuasa bukan saja sekedar kuasa pada Raja, panglima, ataupun pemimpin tetapi lebih pada sesuatu yang lebih dominan, berhak untuk melakukan sesuatu, berbicara sesuatu dan mengklaim sesuatu. Sehingga kuasa bisa jadi terjadi pada seorang dokter kepada pasiennya, seorang guru kepada muridnya, seorang suami kepada istrinya. Dalam relawan.net dikatakan bahwa ”Kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategis yang kompleks dalam masyarakat. Dalam relasi, tentu saja ada yang di atas dan ada yang di bawah, ada yang di pusat dan ada yang di pinggir, ada di dalam dan ada yang di luar. Namun bukan berarti kekuasaan semata-mata terletak di atas, di pusat, atau di pinggir. Sebaliknya, kekuasaan menyebar, terpencar dan hadir di mana-mana ibarat jaring yang menjerat kita semua.

Kuasa juga tidak bekerja secara negatif  dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa memprodusir realitas; kuasa memprodusir lingkup-lingkup obyek-obyek dan ritus-ritus kebenaran. Baik manusia perorangan maupun pengetahuan  yang dapat diperoleh daripadanya, termasuk produksi ini. Strategi kuasa tidak bekerja melalui jalan penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, apa yang dinamakannya dalam. Menjaga dan menghukum sebagai “disiplin”. Normalisasi dan regulasi ini bekerja pada suatu taraf kehidupan manusia serta masyarakat dan berfungsi bagaikan semacam alat atau mesin sortir.

Kuasa menurut Foucault berhubungan dengan kuasa-kuasa yang sedang berjalan pada sesuatu yang lain pada waktu yang sama. Kebenaran mengenai suatu hal pada zaman tertentu akan dipengaruhi bagaimana pengetahuan tersebut akan diajarkan dan diterapkan. Kecenderungan yang terjadi karena pengetahuan berguna bagi kekuasaan itu sendiri. Pengetahuan akan melanggengkan kekuasaan itu sendiri. Dikatakan dalam sebuah forum diskusi di sebuah situs internet bahwa: "... dalam setiap masyarakat produksi wacana sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diredistribusi oleh sejumlah tertentu prosedur yang perannya adalah untuk menjaga kuasa-kuasa dan bahaya-bahaya, untuk memenangkan kekuasaan daripada peristiwa kebetulan, untuk menghindari materialitas yang berat dan menakutkan.

Sebagai contoh kebenaran yang ada hanya pada satu zaman adalah sejarah tentang pemberontakan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Pemberontakan tersebut dianggap benar-benar terjadi ketika zaman orde baru, namun ketika orde baru runtuh, kemudian saksi-saksi sejarah dan ahli-ahli sejarah mulai angkat bicara dan meragukan terjadinya pemberontakan tersebut.

 

B.     Kaitan Antara Pemikiran Foucault dengan Orientalisme Edward Said

Pada tahun 1970-an, para akademisi tertarik untuk menyoroti tentang bagaimana masyarakat-masyarakat Barat memahami dan menafsirkan masyarakat-masyarakat Timur selama masa kolonialisme dan ekspansi kekuasaan kolonial Barat. Kemunculan karya Edward Said, Orientalism : Western Conceptions of the Orient (1979), telah menggoncangkan dunia. Istilah “orientalisme”, seperti dirasakan Said, kurang begitu disukai oleh para spesialis di masa sekarang ini, baik karena terlalu samar-samar, maupun disebabkan oleh konotasi sikap eksekutif yang congkak dari kolonialisme. Said mengemukakan sebuah kritik pedas terhadap konsep-konsep Barat tentang masyarakat Timur dan terhadap bagaimana wacana orientalisme mengukuhkan proses kolonialisme dan supremasi politik dunia Barat. Orientalisme lebih mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendalikan. Dalam wacana orientalisme termuat nilai-nilai kekuasaan.

Menurut Edward Said, arti orientalisme terkait dengan tiga fenomena yang melatarbelakanginya. Pertama, seorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis tentang, atau meneliti Timur, baik orang yang bersangkutan adalah seorang ahli antropologi, sosiologi, sejarah, maupun filologi, baik dari segi umum maupun khususnya, dengan mengklaim bahwa dirinya memiliki pengetahuan dan memahami kebutuhan-kebutuhan Timur. Kedua, suatu gaya berfikir yang berdasarkan pembedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara ‘Timur” (the Orient) dan (hampir selalu) “Barat” (the Occident). Ketiga, dan yang paling signifikan bagi Said :Orientalisme dapat didiskusikan dan dianalisis  sebagai institusi yang berbadan hukum untuk menghadapi Timur, yang berkepentingan membuat pernyataan tentang Timur, membenarkan pandangan-pandangan tentang Timur, mendeskripsikannya, dengan mengajarkannya, memposisikannya, menguasainya. Pendeknya orientalisme adalah cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi dan menguasai Timur.

Pada tahun 1970-an ini, pemikiran Said sangat memukau ; dengan gaya pemikiran Anglo-Saxon dia memperkenalkan kita pemikiran yang mengagumkan dari Michael Foucault. Dengan mengadopsi pemikiran Foucault, Said berupaya mengetengahkan kritik-kritik yang sangat tajam terhadap liberalisme, dan memaparkan secara gamblang kaitan antara pengetahuan dan kekuasaan yang menyatu padu, melalui sejumlah wacana, termasuk orientalisme. Penyatuan ini kemudian memproduksi serangkaian obyek analisis yang terus menerus mempengaruhi kesarjanaan sekarang ini tanpa bisa diamati dan diantisipasi. Karya Said ini amat menarik sekali karena dia mampu menghadirkan cara pandang baru dalam menganalisis sejarah dan fenomena sosial Said menggunakan metode “dekonstruksionime” (deconstructionism), dan dia pun mampu  menunjukkan bagaimana wacana-wacana, nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan telah membentuk “fakta-fakta” yang akan dipelajari oleh para sarjanawan sebagai sesuatu yang independen. Pendekatan Said dikatakan menarik karena dia mampu menghadirkan dirinya sebagai sosok intellectual hero (seorang pahlawan intelektual –istilah yang diberikan Turner sendiri), artinya dia tidak hanya berada pada studi sastra dan penelitian analitis, namun secara praksis dia dikenal sebagai tokoh garis depan dalam perjuangan politik Palestina dan Timur Tengah.

Boleh dibilang Edward Said mengkritik para orientalisme yang melakukan kajian terhadap orang-orang timur. Para orientalist ini mengaku obyektif tidak memihak kepada siapapun, namun pada kenyataannya bahwa penelitian yang mereka lakukan hanya menginformasikan tentang hal-hal yang tidak baik mengenai dunia timur. Sebagai contoh diiformasikan bahwa negara-negara Islam melakukan pemerintahan secara otoritarian. Padahal saya kira ini hanya akal-akalan orang barat yang nantinya agar orang-orang timur sendiri tidak suka dan membenci dirinya sendiri dan kemudian mencontoh dunia barat.

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Bertens, K. 1985. Filsafat Barat Abad XX jilid II Prancis. PT Gramedia: Jakarta.

 

Ritzer, George dan Goodman, Douglas. Goodman. 2002. Teori Sosiologi Modern. Kencana: Jakarta.

 

Foucault, Michel. 1970. The Order Of Things: An Archaeology of the Human Sciences. London. Tavistock Publications Limited.

Belum ada Komentar untuk "Hubungan Kekuasaan Dengan Pengetahuan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel